Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bias dipertukarkan satu sama lain. Sesungguhnya tidak, jurnalistik merujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proses kegiatan mencari, menggali, mengumpulkan, mengelolah, memuat dan menyebarkan berita melalui media berkala pers yakni surat kabar, tabloid atau majalah kepada khalayak seluas-luas nya dengan secepat-cepatnya.[1]
Pengertian Pers menurut para ahli
- Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
- Menurut Oemar Seno Adji
- Pers dalam arti sempit, yaitu penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan kata tertulis
- Pers dalam arti luas, yaitu memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.
- Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
Pers berarti:
- alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar
- alat untuk menjepit atau memadatkan
- surat kabar dan majalah yang berisi berita
- orang yang bekerja di bidang persurat kabaran.
- Menurut Kustadi Suhandang
Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.
Sejarah Awal Pers Indonesia
Mesin cetak masuk ke kepulauan Nusantara pertama kali pada abad ke-17 oleh VOC (Vereenidge Oost-Indische Compagnie), namun penggunaan awalnya dipergunakan untuk kepentingan VOC saja, sehingga tak ada dampaknya untuk masyarakat di luar itu. Penggunaan mesin cetak sangat ketat dilakukan, “…untuk mencegah agar mesin percetakan yang baru didirikan itu tidak mencetak hal-hal yang bertentangan dengan moral, sopan santun, kesusilaan, dan agama”. Demikian ditulis oleh Pieter Pau, seorang pegawai keuangan VOC pada bulan Juli 1688.
Barulah pada awal abad 18, percetakan yang ada di Hindia Belanda diperbolehkan untuk mencetak suratkabar pertama, bernama Bataviasche Nouvelles (1744-1746), kemudian ada Vendue-Nieuws yang memuat berita-berita tentang penawaran barang-barang untuk dijual oleh pegawai Kompeni yang pulang ke Nederland atau yang dipindahkan dari Batavia ke tempat lain. Vendue-Nieuws bertahan agak lama antara tahun 1776-1809. [2]
Pers kolonial pada masa awal ini lebih banyak berisikan iklan atau advertensie dari isi kapal yang datang di Batavia dari Eropa, atau juga lelang dan berita perniagaan lainnya. Pers terbitan Belanda pada waktu itu bisa disebut sebagai pers resmi, karena ia mewakili kepentingan VOC / pemerintah Belanda. Dengan menyebut pers resmi, berarti lalu ada juga pers tidak resmi, yaitu pers yang dikelola oleh orang Belanda namun pandangannya kerap tak sejalan dengan pandangan pemerintah Belanda. Sejumlah kalangan Belanda yang kritis pada kebijakan kolonial pun menggunakan suratkabar untuk menyiarkan kritik-kritik tersebut, misalnya lewat suratkabar seperti Bondsblad, yang terbit pada 1897. Sementara itu di Belanda sendiri para mahasiswa Indonesia generasi awal juga mendirikan Indische Bond, sebagai wadah untuk merintis perjuangan Hindia Belanda sebagai tanah airnya, dan juga mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik. [3] Sementara itu terhadap para wartawan Belanda yang kritis pada kebijakan kolonial, banyak dari mereka yang kemudian terkena tindakan hukum, dan salah satu bentuk hukumannya adalah dengan dibuang.
Penulis sejarah Indonesia yang lain, Rudolf Mrazek, dengan sangat menarik melihat perkembangan nasionalisme di Indonesia terkait dengan perkembangan teknologi komunikasi yang ada pada waktu itu, dimana misalnya ia menggambarkan tentang evolusi dari kemunculan jalan raya yang diaspal, lalu kawat telegram pertama, hingga kemunculan radio pertama di Hindia Belanda [4].
Kemunculan teknologi cetak temuan Johan Guttenberg ini memang menakutkan untuk kalangan penguasa. Tak hanya untuk kalangan seperti pemerintah kolonial Belanda, tetapi juga untuk kekuasaan Gereja di Eropa pada masa abad pertengahan. Kemunculan mesin cetak yang nantinya menandai masa industrialiasi mesin cetak dan proses penyebaran informasi (dimulai dengan pencetakan massal atas kitab suci, baru kemudian buku, dan suratkabar) . Banyak perubahan sosial terjadi dengan adanya mesin cetak ini, hingga memunculkan adanya kesadaran monopoli atas teks, hingga memunculkan para intelektual baru yang lebih sekuler dan juga pada akhirnya (dalam konteks Indonesia) menghasilkan nasionalisme, yaitu perasaan serasa dan senasib akibat pemberitaan yang disebarkan lewat surat-surat kabar [5]
Ahli lain, Walter J. Ong (seorang Jesuit asal Canada yang menjadi rekan dari salah satu master dalam dunia komunikasi; Marshal McLuhan) juga pernah menuliskan paparannya atas perkembangan masyarakat yang berubah dari masyarakat yang banyak menggunakan tradisi lisan menjadi masyarakat dengan menggunakan tradisi tulis. Pergeseran-pergeseran dari dua kutub budaya tadi dan segala implikasi sosial budayanya menjadi focus perhatian Ong. [6]
Masyarakat di wilayah Hindia Belanda pada waktu itu terbagi dalam tiga golongan besar: Masyarakat Belanda, Masyarakat Tionghoa, dan Masyarakat Pribumi / Bumi Putera. Dalam masyarakat Belanda sendiri, sejumlah kalangan mengemukakan kritik atas kebijakan kolonial. Sementara itu dalam masyarakat Tionghoa awalnya mereka mengarahkan pandangan suratkabarnya dengan berkiblat pada kepentingan Negara Tiongkok, sebagai negeri nenek moyang. Namun belakangan sejumlah kalangan Tionghoa – lewat sejumlah perdebatan panjang – memunculkan dua kelompok masyarakat: mereka yang masih berorientasi ke Tiongkok dan juga membela kepentingan Belanda, dan kelompok lain adalah mereka yang bersimpati pada upaya masyarakat bumi putera untuk menuju arah kemerdekaan atau penentuan nasib sendiri. [7]
Pers yang membela kepentingan pribumi sendiri baru akan muncul pada akhir abad 19 atau awal abad 20, seturut dengan adanya politik Etis (Etische Politieke) yang memberikan kesempatan kepada para siswa berbakat untuk menempuh studi lanjut di Belanda, dengan dukungan dana dari pemerintah kolonial. Belakangan kebijakan macam ini menghasilkan situasi yang berbalik, dimana para tenaga terdidik yang tadinya diperkirakan akan bisa mengisi jalur birokrasi pemerintahan kolonial, malah menjadi makin sadar dengan hak-haknya, dan mulai menuntut soal kemerdekaan tanah jajahan.
Majalah kebudayaan Basis, belum lama ini menurunkan satu edisi khusus yang berbicara soal sejarah pers yang dilihat dari pelbagai aspek: organisasi kewartawanan dari masa ke masa, tentang sejarah koran-koran kiri di Indonesia, tentang pers perempuan, tentang media olahraga, pers Tionghoa, pers Islam, media budaya, dan lain-lain [8]. Menarik jika melihat dalam perkembangan belakangan ini ada banyak pihak menulis soal sejarah pers, suatu bidang yang langka ditulis dan diminati [9].
Benih Nasionalisme dalam suratkabar
Kebijakan politik etis (edukasi, transmigrasi, dan irigasi) dilakukan oleh pemerintah Belanda, setelah terjadi serangkaian protes dari kelompok liberal atas penghisapan yang telah dilakukan pemerintah terhadap tanah jajahan. Niatan pemerintah Belanda untuk mendapatkan tenaga terampil untuk mengisi birokrasi di Hindia Belanda, kenyataannya menghasilkan para terdidik yang makin sadar, dan makin terbuka pikirannya atas gagasan ‘menentukan nasib bangsa sendiri’. Inilah kondisi yang disebut Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” [10].
Kebijakan politik etis ini pula yang kemudian membuat sejumlah terpelajar awal selalu dekat dengan suatu suratkabar atau media cetak lain. Orang seperti Sukarno menuliskan pikirannya pada koran Fikiran Rakyat, Mohammad Hatta menuliskan buah-buah pikirannya pada terbitan Indonesia Merdeka, dan kemudian Daulat Rakjat. Pada masa sebelumnya kita juga tahu orang seperti Tirto Adhi Soerjo juga mempergunakan koran Medan Prijaji sebagai bagian dari perlawanan terhadap pemerintahan kolonial [11]
Dengan demikian suratkabar pada waktu itu lebih dipergunakan untuk kepentingan melawan kolonialisme Belanda, mengangkat problematika yang dihadapi masyarakat bumi putera, dan juga alat untuk menyebarkan kesadaran pentingnya memiliki bangsa sendiri serta bebas dari penjajahan. Namun tindakan seperti ini bukan tidak mengandung resiko. Justru sebaliknya sadar dengan menggunakan suratkabar sebagai alat perjuangan, berarti juga sadar dengan ancaman persdelict (kasus pidana pers), yang berarti penulis bisa dipenjarakan atau dibuang ke luar pulau Jawa, plus suratkabar ditutup. [12]
Dalam bayang-bayang perang dunia II, wilayah eks Hindia Belanda pun beralih control kepada Jepang, dan masuknya Jepang ke Indonesia, ditandai dengan tutupnya seluruh suratkabar berbahasa Belanda, dan semua suratkabar lainnya dihimpun oleh Jepang dan dikontrol terpusat. Selain control terpusat pada suratkabar, Jepang juga mengontrol radio, kantor berita, dan perfilman [13]. Para bumi putera yang tadinya bekerja untuk media-media lain, seluruhnya menjadi operator media yang dipimpin oleh Jepang. Namun begitu, tokoh-tokoh seperti Adam Malik, BM Diah, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, nantinya akan menikmati pengalaman bekerja secara teknis bagi Jepang ini, karena setelah revolusi kemerdekaan, mereka ini kemudian mendirikan lembaga kantor berita Antara (Adam Malik), lalu suratkabar Merdeka (BM Diah), suratkabar Pedoman dan mingguan Siasat (Rosihan Anwar), dan suratkabar Indonesia Raya (Mochtar Lubis).
Masa Kemerdekaan – Demokrasi Konstitusional – Demokrasi Terpimpin
Banyak suratkabar muncul pada masa awal kemerdekaan, sebagai kelanjutan dari upaya mengumumkan kemerdekaan bangsa dan negeri yang masih muda, walau mereka hidup dengan serba kekurangan: terbit tidak rutin, problem tidak mendapat pasokan kertas secara regular, percetakan yang tidak memadai, serta dana yang memungkinkan terbit hanya dalam waktu pendek.
Namun begitu di sejumlah kota besar Indonesia, sejumlah suratkabar Republiken muncul dan mengobarkan kemerdekaan, dan pula berusaha terus berjuang dengan adanya pasukan Sekutu yang kembali ke perairan Nusantara untuk menguasai wilayah eks koloni Jepang tersebut. Barulah 4 tahun setelah Proklamasi terjadi pengakuan kedaulatan penuh oleh pemerintah Belanda atas pemerintah bekas Hindia Belanda tersebut.
Sejumlah pers yang muncul pada masa awal kemerdekaan itu antara lain adalah: Harian Merdeka (Jakarta), Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Harian Waspada (Medan), Harian Pedoman Rakyat (Ujung Pandang).
Setelah Republik lebih stabil, maka pemerintahan muda ini mulai berjalan, walau sering disela oleh aneka problem seperti keributan di daerah-daerah, dan mulai menguatnya partai-partai politik, serta diselenggarakannya pemilu pertama tahun 1955. Suratkabar pada itu kental dengan warna ideologinya, dalam arti bahwa partai politik dengan terang-terangan menyebut bahwa suratkabar tertentu adalah corong mereka. Misalnya kelompok Nahdlatul Ulama memiliki suratkabar , sedangkan kelompok Muhammadyah memiliki suratkabar Abadi, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) memiliki koran Pedoman dan mingguan Siasat. Harian Merdeka sering disebut dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki Harian Rakjat.
Koran-koran seperti Kompas ataupun Sinar Harapan, baru muncul pada periode berikutnya. Koran Sinar Harapan baru terbit sejak tahun 1964, sedangkan Kompas baru muncul pada tahun 1965 bulan Juni.
Yang juga penting dicatat pada periode ini adalah pertikaian politik antara kekuatan Nasionalis, Agama dan Komunis justru makin menegang, walau Sukarno justru telah menggariskan perlunya ada persatuan Indonesia dari tiga golongan tersebut. Keributan yang terjadi dalam dunia sastra dan budaya, yang diwakili oleh kelompok Manifest Kebudayaan (sering diejek sebagai Manikebu) versus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sedangkan polemic berkepanjangan antara suratkabar Merdeka (dan kelompok pers yang masuk dalam Badan Pendukung Soekarnoisme-BPS) dan Harian Rakjat menggambarkan situasi pertikaian ideologis pada waktu itu. [14]
Pada masa ini pers pun terkena banyak halangan dari pemerintah ataupun kelompok militer. Situasi Negara yang darurat dan penuh ketidakpastian membuat sejumlah pers ditutup sementara dan sejumlah wartawan pun dimasukkan dalam penjara – seperti Mochtar Lubis contohnya. [15]
Orde Baru (akhir dari pers-pers ideologis)
Kemunculan Orde Baru pada tahun 1965/66 menampilkan konstalasi baru dalam pers di Indonesia. Segera setelah Suharto dan Angkatan Darat naik ke kuasaan, maka terjadi gelombang pembersihan terhadap koran-koran kiri. Tak kurang dari 100an penerbitan pers ditutup, dan ratusan orang wartawan ditahan dan dibuang ke pulau Buru. Semangat antikomunis inilah yang melekat hingga ke akhir masa Orde Baru. Bahkan ada larangan bahwa eks tahanan politik (yang tak pernah dihadirkan ke pengadilan, dan mencakup puluhan ribu orang) setelah lepas dari tahanan tak boleh masuk ke dalam sejumlah sector yang dianggap strategis: pertahanan keamanan (menjadi anggota ABRI), pegawai negeri, dosen atau pengajar, dan wartawan. [16]
Pembersihan atas ratusan suratkabar itu nyatalah menjadi pintu masuk untuk perilaku yang sama terhadap pers dalam 30 tahun berikutnya. Gelombang pembredelan pers terjadi juga pada tahun 1974 [17], kemudian pelarangan terbit sementara pada tahun 1978 [18], serta pencabutan SIUPP (istilah yang dihaluskan atas ‘pembredelan’) terhadap suratkabar Sinar Harapan, Tabloid Monitor, serta suratkabar Prioritas. Dan menjelang akhir masa Orde Baru, tiga mingguan berita; Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik pun dicabut SIUPP pada tanggal 21 Juni 1994 [19].
Peneliti seperti Daniel Dhakidae menyebut Orde Baru sebagai masa dimana pers-pers ideologis (dalam arti pers yang berafiliasi kepada partai politik secara langsung, dan mengemban misi ideology tertentu) berakhir, dan digantikan dengan munculnya pers industrial.
Untuk media seperti Kompas, pembredelan seperti ini sangatlah traumatik, karena pers ada dalam suasana ketidakpastian, dan setiap waktu penguasa yang tak senang dengan pers bisa saja menutup perusahaan pers. Dan itu artinya ribuan orang akan jadi penganggur, dan pihak perusahaan pun diberatkan untuk memikirkan perusahaan yang tutup tersebut. Dari sinilah muncul ide untuk melakukan diversifikasi (pengembangan unit usaha) dalam tubuh perusahaan Kompas Gramedia. Caranya adalah dengan mendirikan sejumlah suratkabar daerah, lalu unit usaha lain seperti majalah, penerbitan, toko buku, perusahaan film, perusahaan retail (supermarket), hingga ke perusahaan tissue. Belakangan juga jaringan hotel. Ini artinya “sekoci telah disiapkan jika sewaktu-waktu kapal utama tak lagi diijinkan untuk berlayar”. [20]
Pertumbuhan menjadi pers industri tak hanya dialami oleh media seperti Kompas, tetapi juga pada grup Tempo yang mengembangkan jaringan suratkabar Jawa Pos, lalu juga grup Media Indonesia, walaupun belakangan sejumlah suratkabar di bawah Media Indonesia ini beralih kepemilikan ke grup lain. [21]
Tabiat penguasa terhadap pers pada itu berbentuk: kontrol terhadap informasi, menutupi informasi terbuka kepada masyarakat, kebiasaan meneror pers (dikenal istilah ‘budaya telepon’, yaitu telepon yang datang dari kalangan aparat pemerintah atau militer untuk menyensor berita tertentu untuk tidak boleh disiarkan keesokan harinya), sensitif pada kritik, hingga melakukan pemenjaraan pada wartawan hingga pembunuhan kepada wartawan.
Yang juga bisa dicatat di sini adalah perilaku control dari Negara terhadap pers, serupa dengan apa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru pada sector-sektor lain, dengan pemberlakuan ‘state corporatism’, yaitu Negara yang mengontrol aneka kelompok-kelompok kepentingan agar menjadi mudah diatur: partai disederhanakan menjadi 3 buah saja (dari belasan jumlah pada pemilu tahun 1971), pemuda diwadahi dalam KNPI, dikenal ada kelompok Pemuda Pancasila, dan aneka pengistilahan Pancasila pada macam-macam kelompok, pengusaha dikumpulkan dalam KADIN, buruh dikumpulkan dalam SPSI, sementara pers diatur lewat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) [22]
Pada masa menjelang kejatuhan Suharto, muncullah televisi swasta di Indonesia, yang awalnya adalah televisi yang dimiliki oleh kroni Suharto, dalam rupa anak-anak Suharto (RCTI awalnya dimiliki oleh Bambang Triatmodjo, anak lelaki pertama Soeharto, kemudian juga muncul TPI yang dimiliki oleh Siti Hardiyanti Rukmana, anak perempuan pertama Suharto), saudara Suharto (SCTV awalnya dimiliki oleh Sudwikatmono, saudara ipar Suharto), serta konco bisnis lainnya (Indosiar dimiliki oleh Liem Soe Liong, dan ANTV yang dimiliki Aburizal Bakrie).
Pembredelan tahun 1994 telah memunculkan protes dimana-mana, dan utamanya adalah penolakan atas pencabutan SIUPP tersebut, lalu diikuti dengan kemunculan organisasi wartawan tandingan PWI, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) [23], dan juga memunculkan adanya sejumlah koran bawah tanah. Di lain pihak, kemunculan teknologi baru bernama internet juga memberikan percepatan penyampaian informasi yang tak bisa disensor atau dikendalikan oleh pemerintah [24].
Kemunculan fenomena-fenomena baru itu memberikan perlawanan atas control informasi yang dilakukan pemerintah Suharto selama itu, dan dengan munculnya saluran informasi tandingan, maka makin kelihatanlah belang-belang dari pemerintahan Suharto, yang terbukti saat terjadi krisis ekonomi tak mampu mengatasinya dengan pemerintahan yang tak efisien serta penuh rekayasa korupsi. Suharto pun jatuh pada bulan Mei 1998.
Reformasi
Segera setelah Suharto jatuh, kondisi sosial politik, dan juga pers mengalami Perubahan drastic. Kontrol yang dilakukan pemerintah lewat surat ijin, sudah mulai dihilangkan. Undang-undang baru diperkenalkan pada public, menegaskan pengakuan adanya kebebasan pers di Indonesia. Pers dengan muatan asing yang sangat terlarang di jaman orde baru makin marak tampil di pasaran. Secara singkat, regulasi media jadi lebih liberal. Gelombang baru televisi swasta muncul: TRANS TV, TRANS 7 (DULU TV 7 yang dimiliki oleh Grup Kompas, sebelum dijual kepada Trans Corp), METRO TV, GLOBAL, O CHANNEL, dan aneka TV local lainnya.
Peran Negara menjadi inferior, walau terkadang sejumlah menteri penerangan masih berkeinginan untuk memiliki kekuasaan yang besar seperti masa lalu. Pengganti dari fungsi pengawasan dilakukan oleh lembaga independent seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana diminta dalam UU Pers tahun 1999 dan UU Penyiaran tahun 2002. Yang jelas tampak adalah konglomerasi media dari sejumlah grup makin meluas dan makin kokoh. Banyak pengusaha yang masuk ke dalam industri media, dan membuat industri media memang memiliki karakter yang sangat kapitalistik (mendahulukan pengumpulan profit, menampilkan isi yang lebih mengundang pemasukan, isi media jadi lebih ‘soft’, tidak terlalu berani menampilkan liputan-liputan investigasi, tayangan televisi pun makin semena-mena: memasuki wilayah privat dan mengkomodifikasinya, kehidupan artis, kehidupan orang biasa-biasa). Fenomena saling mempromosikan isi dari grup yang lain menjadi sangat jelas.
[1] Sumber utama bagian ini adalah dari Surjomihardjo Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002 {1980]. Jika ada rujukan lain akan disebutkan terpisah.
[2] Surjomihardjo (2002: 105-6). Lihat juga Zubaidah Isa, Printing and Publishing in Indonesia: 1602-1970, tesis doctor tidak dipublikasikan dari Graduate Library School, Indiana University, 1972, atau Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran KeIndonesiaan, Jakarta: Hastra Mitra & Pustaka Utan Kayu, 2003 (terjemahan dari The Vernacular Press and the Emmergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913), Ithaca: Cornell University Press, 1995 juga G.H. von Faber, A Short History of Journalism in the Dutch East Indies, Soerabaja-Java, tanpa tahun.
[3] Lihat Harry Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008, khususnya pada bab “Nasionalisasi dalam Isolasi”. Kelompok Indische Bond ini belakangan berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia, dimana Mohammad Hatta pernah menjadi salah satu pimpinannya. Nama majalah mereka pun berubah menjadi Indonesia Merdeka! John Ingleson, Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement 1923-1928, Melbourne, 1975.
[4] Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, khususnya pada bab 1 dan 5.
[5] Tentang perkembangan teknologi cetak di Eropa dan Perubahan sosial yang terjadi karenanya, lihat pada karya Elisabeth L. Eisenstein, The Printing Press as an Agent of Change, Cambridge University Press, [1979] 1997, lihat juga Asa Briggs & Peter Burke, Sejarah Sosial Media: Dari Guttenberg Sampai Internet, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006; tentang penyebaran paham nasionalisme via media cetak, lihat pada Bennedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1983, h.30
[7] Lebih jauh silakan lihat bagian yang ditulis oleh Leo Suryadinata “Pers Melayu-Tionghoa” dalam Surjomihardjo (2002: 41-75).
[9] Belakangan misalnya muncul karya Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan: Politik Wacana Antikolonialisme Pertja Selatan, Yogyakarta: LKiS, 2009. Karya ini menulis tentang sebuah koran yang pernah hidup di masa Belanda hingga ke awal revolusi kemerdekaan di kota Palembang, Sumatera Selatan.
[10] Yang menarik, pada era awal abad 20 itu, banyak suratkabar dinamakan sesuai dengan idiom seperti Cahaya, Sinar, Terang.. yang semuanya mengacu pada pemahaman atas pentingnya terang yang muncul setelah melewati masa kegelapan … pada berikut berikutnya banyak suratkabar diberi nama dengan idiom seperti Suara … dan periode berikut banyak yang diberi nama dengan idiom ‘Gerak’. Jadi tiga idiom ini: ”Terang”, “Suara” dan “Gerak”, adalah tiga konsep penting yang mempergunakan suratkabar sebagai medium untuk menuju arah Indonesia merdeka. Khusus tentang pergerakan yang terjadi di kalangan masyarakat di Jawa, bisa melihat pada karya Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997. Lihat juga sebuah buku tebal (1.183 halaman) yang menyajikan profil 100 suratkabar penting di Indonesia, Taufik Rahzen et. al, Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa, Jakarta: I-Boekoe, 2007. Buku lain yang menekankan pada aspek para tokoh pers, Taufik Rahzen, et.al, Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, Jakarta:I-Boekoe, 2007.
[11] Tentang Tirto secara khusus lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, juga Ahmat Adam (2003). Suatu kumpulan karya lengkap Tirto ada pada Iswaran Raditya & Muhidin M. Dahlan, Karya-karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, Jakarta: I-Boekoe, 2008.
[12] Aneka kasus persdelict ini bisa melihat pada Mirjam Matters, Dari Perintah Halus ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial Antara Kebebasan dan Pemberangusan 1906-1942, Jakarta: Hasta Mitra & Pustaka Utan Kayu, 2003, lihat juga bab “Pembredelan Pers dalam Sejarah Indonesia”, serta “Lampiran: Kebijakan Pemerintah Belanda dan Hindia Belanda Mengenai Pers dan Radio di Indonesia 1901-1942”, dalam Soerjomihardjo (2002)
[13] Lihat Aiko Kurosawa, “Propaganda Media on Java Under the Japanese 1942-45”, Indonesia no. 44, , Cornell University Press, Oktober 1987. Bandingkan dengan Adinegoro, “Pers di masa Pendudukan Jepang”, dalam Djafar Husin Assegaff, Bunga Rampai Sejarah Media Massa, Jakarta: Mecon Press, 1978.
[14] Lihat Ignatius Haryanto, “Membela atau Tidak Membela Sukarno: Pertarungan PWI vs BPS, September – Desember 1964”, dalam Max Lane & Bonnie Triyana (eds.) Liber Americom 80 Tahun Joesoef Isak Seorang Wartawan, Penulis, dan Penerbit, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
[16] Sepenggal episode tentang soal ini lihat pada Daniel Dhakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, khususnya sub bab V “Prisma, Cendikiawan Orde Baru, dan Kaum Kiri” h.493-498.
[17] Bredel pada tahun 1974 menimpa suratkabar di Jakarta seperti: Nusantara, Harian KAMI, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, Pemuda Indonesia, serta Mingguan Berita Ekspres, kemudian juga harian Suluh Berita di Surabaya, Mingguan Mahasiswa Indonesia, serta mingguan Indonesia Pos di Ujung Pandang (nama sebelum Makassar, Sulawesi Selatan).
[18] Pelarangan terbit selama dua minggu ini menimpa sejumlah suratkabar seperti: Kompas, Pelita, Merdeka, Sinar Harapan, Pos Sore, Indonesia Times, dan Sinar Pagi. Mereka baru boleh terbit kembali setelah menandatangani pernyataan permintaan maaf kepada presiden Suharto atas pemberitaan soal protes mahasiswa atas kepemimpinan Suharto.
[19] Tak dinyana pembredelan tahun 1994 ini menimbulkan perlawanan dari golongan kelas menengah di Indonesia, utamanya para wartawan dan kalangan professional lainnya. Empat tahun setelah pembredelan, Suharto akhirnya turun dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun.
[21] Detil masalah ini bisa dilihat pada disertasi doctoral Daniel Dhakidae. Disertasi ini masih dianggap disertasi terbaik yang menjelaskan proses evolusi pers politik menuju pers industrial, The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry, disertasi doctor tidak diterbitkan, Cornell University, 1991. Perkembangan dalam Tempo, Jawa Pos lihat juga pada Janet Steele, Wars Within: the Story of Tempo: An Independent Magazine in Suharto’s Indonesia, Equinox & ISEAS, 2005; atau David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, University of Western Australia & Asia Research Center, Murdoch University, 1994.
[22] PWI dan SPS sudah berdiri sejak tahun 1940-an, namun baru pada tahun 1980-an dua lembaga ini dijadikan wadah yang diakui Negara untuk mengumpulkan para wartawan (PWI) dan para pemilik suratkabar (SPS). PWI dan SPS kemudian menjadi pembela kepentingan Negara Orde Baru.
[23] Lihat tulisan Victor Menayang, Bimo Nugroho & Dina Listiorini, “Pers Bawah Tanah: Media Sebagai Pergerakan Sosial”, dalam Dedy N. Hidayat et al (eds.) Pers dalam ‘Revolusi Mei’ Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
[24] Krishna Sen & David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar